
Iklan produk yang massif berdampak pada tumbuh suburnya budaya konsumtif di masyarakat, terutama kalangan menengah ke atas. Banyak orang dari kelompok ini tergila-gila dengan belanja yang popular dengan sebutan shopping. Anjuran menabung yang ditanamkan para guru sejak sekolah dasar menjadi tak serius dilakukan, sebab setiap saat uang tabungan itu diambil terus dan terus.
Karena itu, mungkin jarang orang yang memiliki uang tabungan yang utuh. Kartu ATM memudahkan setiap nasabah bank untuk mengambil uang kapan pun ia mau, kapan pun ia akan belanja. Jadi, menabung dapat dikatakan, hampir-hampir nol besar. Semua karena konsumerisme yang telah menjadi budaya masyarakat.
Kartu ATM yang membuat orang tak serius menabung, menjadi sangat sempurna dengan kehadiran kartu kredit. Kartu kredit yang seolah-olah telah menjadi semacam gaya hidup (life style) masyarakat perkotaan modern telah mengubur budaya menabung dan sebaliknya, menumbuhkan budaya belanja dengan berutang.
Penggunaan kartu kredit di dunia sudah cukup tua. Encyclopedia Britannica menulis, penggunaan kartu kredit berasal dari Amerika Serikat selama tahun 1920-an. Namun, asal usul kartu kredit bisa dilacak hingga tahun 1890 di Eropa (Amazine.co, 2017). Di Indonesia sendiri, kartu kredit dipelopori Citibank yang pertama kali menerbitkan kartu kredit di tahun 1989 (PilihKartu.com, 22/05/2017).
Menilik usianya yang sudah cukup lama beredar, wajarlah kiranya masyarakat perkotaan menjadi sangat akrab dengan alat berutang yang praktis ini.
Sewaktu saya akan membeli AC untuk rumah kami, kakak ipar saya berkata, ambil saja dengan cara mencicil.
“Tapi harus pake kartu kredit. Bunga nol persen lho,” katanya.
“Wow..tapi saya tak punya kartu kredit.” Saya tertawa kecil.
“Inilah gunanya saudara,” katanya, “jangan risau, pakailah kartu kredit saya.”
Benarlah. Dengan kartu kredit semua bentuk belanja menjadi sangat mudah. Luar biasa. Sistem dan teknologi non tunai ini patutlah diacungi dua jempol.
Namun, sayangnya penggunaan kartu kredit ini menyisakan cerita-cerita yang kurang mengenakkan bagi sebagian orang, di samping cerita yang enak. Tak sedikit orang bangkrut usahanya; karena kartu ajaib itu membuat seseorang menjadi ‘besar pasak daripada tiang’.
Di atas itu semua, yang perlu menjadi catatan adalah bukan ATM atau kartu kreditnya, tapi di balik keduanya. Apa itu? Konsumerisme!
Sebagaimana dijelaskan Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsumerisme adalah paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya; gaya hidup yang tidak hemat (kbbi.web.id, 2017).
Mengenai ini, Komaruddin Hidayat, cendikiawan muslim Indonesia yang banyak membahas dan menganalisis fenomena sosial klasik dan modern, mengupasnya dengan apik dalam Kolom Majalah InfoBank (The Law of Diminishing Return, 2017).
Hidayat menyatakan, dengan adanya agresivitas iklan yang menggoda selera masyarakat untuk mengonsumsi barang-barang – yang bersifat sekunder, bahkan tertier, semata untuk memenuhi gaya hidup – maka berapa pun uang dibelanjakan kepuasan yang didapatkan tak tahan lama, bahkan cepat menurun.
Mereka yang senang berbelanja, yang menjadi sumber kebahagiaannya adalah doing shopping itu sendiri dan perasaan memiliki barang (having mode). Padahal durasi kesenangan yang muncul dari keasyikan berbelanja hanyalah sesaat. Begitu pun perasaan memiliki akan segera meraih anti klimaks ketika melihat produk terbaru yang dianggap lebih trendy.
Bahkan, lebih gila lagi, di era e-commerce, sekarang orang sudah sangat mudah untuk memenuhi hajat shopping dengan berbelanja di rumah: penuh discount, praktis, cukup dengan ujung jari yang disentuhkan pada layar android.
Nah, bagaimana menghadapi ini? Tampaknya, dalam dunia modern, menghindari konsumerisme secara total, menjadi pilihan sulit. Karena bagaimana pun, fasilitas-fasilitas yang sangat memudahkan yang menjadi bagian konsumerisme itu juga masih diperlukan.
Lalu, bagaimana caranya supaya kita tidak terjebak ke dalam konsumerisme? Alih-alih dikendalikan gaya hidup tak hemat itu, kita mampu mengendalikan budaya konsumerisme yang sangat dekat itu.
Dengan apa? Karena saya seorang agen asuransi, saya menawarkan solusi Tapro (tabungan dan proteksi). Tapro adalah produk unit link yang memiliki dua unsur sekaligus, yaitu unsur asuransi (proteksi) dan investasi (tabungan).
Unsur tabungan Tapro menggunakan skema investasi (saham, dll.) yang perencanaannya jangka panjang. Tidak seperti tabungan di bank yang bisa diambil dalam jangka waktu dekat (bahkan deposito pun waktunya tak terlalu panjang), skema investasi di Tapro lebih panjang, sehingga nasabah tak bisa mengutak-atik tabungannya.
Kemudian, selain memiliki unsur tabungan, Tapro juga memiliki keunggulan lainnya, yaitu proteksi yang banyak pilihannya: jiwa, sakit kritis, rawat inap, kecelakaan, dan cacat tetap total. (Baca juga: Unit Link: 1 Asuransi dengan Banyak Pilihan Proteksi)
Dengan memilih Tapro sebagai solusi bagi perencanaan keuangan sekaligus mengamalkan perilaku hidup hemat, kita akan mendapatkan tiga manfaat sekaligus: terhindar dari jebakan budaya konsumerisme yang melenakan, dapat berinvestasi untuk hari pensiun, dan menyiapkan proteksi dari risiko hidup sejak dini.[]
Layanan konsultasi asuransi GRATIS dapat menghubungi kami, Agen Asuransi Allianz di Bekasi, Cikarang, dan sekitarnya.
Dede Sulaeman (Business Executive Allianz Star Network)
Kontak: 085767622961 (Tlp/WA) – Email: desulanakata@yahoo.com