Pada pertengahan tahun 2013, saya pulang dari bandara Soekarno-Hatta menuju kantor di Kalibata menggunakan taksi tidak resmi, dengan pertimbangan lebih murah dan cepat, juga tidak perlu menunggu antrian seperti taksi resmi.
Dalam perjalanan itu, Pak Sopir yang berusia menjelang 50 tahun bercerita begitu saja, tanpa bisa dibendung. Saya lebih banyak mendengarkan dan sesekali menimpali dengan kalimat-kalimat pendek saja.
“Dulu, saya seorang pedagang yang cukup maju,” kisahnya. “Gimana ya, mas. Kalau diceritakan, sedih. Tapi, ya, itulah takdir.”
“Bagaimana ceritanya, Pak?” Saya tahu, tanpa ditanya seperti ini, Pak Sopir akan bercerita. Ini pertanyaan bodoh. Tapi saya tetap memutuskan bertanya seperti itu untuk menunjukkan rasa empati. Anda tahu, menunjukkan rasa empati sangat dianjurkan dalam pelajaran etika dan agama.
Mulailah Pak Sopir bercerita.
Dia punya usaha dagang di daerah Mangga Dua yang hasil usahanya cukup besar. Dengan hasil itu ia membeli aset properti dan mobil dengan kontan. Berdasarkan ceritanya, ia termasuk orang yang berprinsip untuk tidak dekat-dekat dengan utang.
Ia sudah membangun usaha dagangnya selama bertahun-tahun dan cukup maju. Sampai apa yang ia sebut takdir datang kepada istrinya. Ini bagian yang saya sendiri sebagai pendengar merasa hanyut dalam sedih. Istrinya terdiagnosa sakit kanker!
“Kami sudah melakukan usaha supaya istri saya bisa sembuh. Kami juga ke Singapura untuk berobat. Tapi…” Bapak yang mengaku punya dua anak ini menghentikan ceritanya. Air matanya meleleh.
Saya yakin, seseorang yang telah membangun usaha dagang dengan cukup maju memiliki mental yang tegar dan kuat. Tapi kali ini ia yang saya yakin seorang yang tegar itu menangis. Memanglah, apa yang menimpa keluarganya amatlah berat.
Dari kursi belakang, sekali lagi saya menunjukkan rasa empati dengan meletakan telapak tangan saya di bahu belakangnya. Lalu, ia kembali meneruskan ceritanya.
“Sekian lama kami berusaha untuk menyembuhkan istri, tapi Tuhan berkata lain. Istri saya meninggal di rumah sakit Singapura.” Ia berusaha kuat.
“Sekarang kami tidak punya apa-apa, kecuali mobil ini dan rumah kecil. Usaha kami bangkrut karena tak terurus dengan baik dan akhirnya kami jual untuk menambah biaya pengobatan. Rumah besar kami juga sudah dijual dan sekarang hanya memiliki rumah kecil di Bekasi. Tapi kami tetap bersyukur, masih punya tempat tinggal,” sekarang ia lebih tegar.
“Dan, saya masih punya utang kepada saudara istri, walaupun tidak terlalu besar. Dengan keterbatasan yang saya punya sekarang, saya hanya ingin melunasi utang dan memastikan kedua anak saya bisa sekolah dengan baik.”
Ia menutup kisahnya dengan terlihat lebih lega. Setelahnya ia berusaha meminta maaf kepada saya karena merasa tidak enak telah bercerita masalah pribadi keluarganya.
Segera saya katakan, “Saya berterima kasih. Cerita Bapak sangat berharga bagi saya dan keluarga saya. Kami bisa belajar dari bapak.”
Apa yang bisa dipelajari dari kisah nyata ini? Saya ingin menggarisbawahi beberapa hal yang saya anggap penting.
Pertama, sakit kritis bisa menimpa siapa saja di dalam keluarga dan pengobatannya memerlukan biaya yang sangat besar. Oleh karena itu, setiap orang harus menyiapkan biaya pengobatan besar yang tak terduga seperti ini.
Kedua, usaha yang telah dibangun dan maju dengan hasil beberapa aset pun bisa habis untuk biaya pengobatan sakit kritis. Dalam konteks cerita Pak Sopir, ia ingin istrinya sembuh sehingga ia harus membawa istrinya ke Singapura untuk melakukan pengobatan terbaik di sana. Sehingga sangat wajar jika biayanya sangat besar. Memanglah betul. Untuk kesembuhan anggota keluarga yang sakit, apa pun akan rela diserahkan anggota keluarga yang lainnya.
Ketiga, meskipun sakit kritis tidak menimpa pencari nafkah – dalam cerita ini kebetulan sakit kritis menimpa istri – ternyata sangat berdampak pada kondisi keuangan pencari nafkah bahkan usaha yang menjadi sumber penghasilannya.
Selain itu, jika mau dimasukkan, dampak lainnya, yaitu waktu dan tenaga harus dikorbankan oleh anggota keluarga lainnya yang sehat yang tentunya berdampak pada hilangnya nilai waktu dan tenaga. Ditambah dengan dampak psikologis yang bisa jadi cukup berat dirasakan oleh keluarga, ketika ada anggota keluarganya yang mengalami sakit kritis.
Nah, dari tiga pelajaran penting itu, saya ingin menyimpulkan begini: sakit kritis bisa menimpa siapa pun dan memerlukan biaya besar bahkan bisa sangat besar. Biaya yang sangat besar ini tidak akan mudah kalau ditanggung sendiri, meskipun memiliki usaha dan aset yang besar.
Karena itu, kita perlu mengalihkan risiko hidup yang tak terduga berupa sakit kritis ini kepada pihak lain, yaitu perusahaan asuransi. Saya telah menulis satu artikel yang menjelaskan bahwa asuransi bisa menjadi solusi terbaik untuk mengantisipasi dampak keuangan yang ditimbulkan sakit kritis (silakan baca: Penyakit Kritis, Dampak Keuangan yang Ditimbulkan, dan Solusinya).
Jika saja waktu itu saya sudah bergabung di Allianz Star Network sebagai pemasar asuransi jenis ini, tentulah saya akan menyarankan Pak Sopir itu untuk mengambil asuransi Penyakit Kritis, setidaknya untuk dirinya yang waktu itu bekerja sebagai sopir taksi tidak resmi. Karena, asuransi penyakit kritis bisa dicicil dengan premi bulanan yang tidak terlalu mahal sehingga bisa diambil oleh orang seperti Pak Sopir yang saya ceritakan.
Tapi, saya berharap, ada agen asuransi lain yang sudah datang kepada Pak Sopir sehingga ia bisa memiliki backup dana besar kalau-kalau risiko sakit kritis datang kepadanya.
Demikian. Semoga kisah ini bisa menjadi pelajaran berharga untuk semua. Jika Anda belum memiliki asuransi penyakit kritis, jangan sungkan untuk mengonsultasikannya kepada agen asuransi resmi.
(Artikel ini telah dimuat di PROTEKSIPENGHASILAN.COM)
Layanan konsultasi asuransi GRATIS dapat menghubungi kami, Agen Asuransi Allianz di Jakarta, Bekasi, Cikarang, Karawang, dan sekitarnya.
Dede Sulaeman (Business Executive Allianz Star Network)
Kontak: 085767622961 (Tlp/WA) – Email: desulanakata@yahoo.com
Baca juga artikel terkait:
- Tanya Jawab tentang Asuransi Penyakit Kritis
- Asuransi Penyakit Kritis, Melengkapi Asuransi Kesehatan
- Cara Cerdas Memilih Asuransi Penyakit Kritis