Pada pertengahan tahun 2013, saya pulang dari bandara Soekarno-Hatta menuju kantor di Kalibata menggunakan taksi tidak resmi, dengan pertimbangan lebih murah dan cepat, juga tidak perlu menunggu antrian seperti taksi resmi.
Dalam perjalanan itu, Pak Sopir yang berusia menjelang 50 tahun bercerita begitu saja, tanpa bisa dibendung. Saya lebih banyak mendengarkan dan sesekali menimpali dengan kalimat-kalimat pendek saja.
“Dulu, saya seorang pedagang yang cukup maju,” kisahnya. “Gimana ya, mas. Kalau diceritakan, sedih. Tapi, ya, itulah takdir.”
“Bagaimana ceritanya, Pak?” Saya tahu, tanpa ditanya seperti ini, Pak Sopir akan bercerita. Ini pertanyaan bodoh. Tapi saya tetap memutuskan bertanya seperti itu untuk menunjukkan rasa empati. Anda tahu, menunjukkan rasa empati sangat dianjurkan dalam pelajaran etika dan agama.
Mulailah Pak Sopir bercerita. Lanjutkan membaca “Dampak Penyakit Kritis: Pelajaran Berharga dari Kisah Hidup Seorang Sopir”